Kampus Mandiri Melawan “Mindset Karyawan” | Penindasan di sekolah | Pembentukan plagiarisme dalam kurikulum

  • Kampus Merdeka resmi baru diresmikan pada Selasa (9/2/2021) yaitu teaching campus 2021, sehingga mahasiswa dapat melakukan magang mengajar di sana.

Dalam pembukaannya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan siswa dapat mengajar adik-adik sekolah dasar (SD) di daerah 3T (tertinggal, perbatasan, terluar) selama 12 minggu.

Selain itu, selama pandemi COVID-19, banyak siswa yang terkena dampak dan orang tua yang mengawasi pembelajaran jarak jauh kesulitan.

Oleh karena itu, mahasiswa program Kampus Merdeka diharapkan dapat lebih meningkatkan keterampilan kepemimpinan dan kedewasaan sosialnya.

Namun, masih ada masalah, seperti “mentalitas karyawan” banyak siswa.

Berikut 5 item terpopuler dan menarik tentang Kompasiana di rubrik Edukasi:

Dapatkan informasi, inspirasi, dan wawasan di email Anda.
email pendaftaran

Mampukah Kampus Mandiri melawan “mindset karyawan” di kalangan mahasiswa?

Kompasian Yupiter Gulo memandang Program Belajar Merdeka tidak mudah dengan beban studi hingga 147 sks untuk mahasiswa S1 dengan masa studi maksimal 4 tahun.

Selain itu, ada masalah nyata: mentalitas karyawan siswa.

“Tujuannya setelah lulus mahasiswa tidak lagi disibukkan dengan mencari pekerjaan, tetapi disibukkan dengan penciptaan lapangan kerja. Bukan disibukkan dengan mencari gaji bulanan, melainkan berusaha memberikan gaji kepada karyawan” tulis Kompasian Yupiter Gulo.

Jadi bagaimana itu bisa berjalan beriringan? (Lanjut membaca)

Seberapa membosankankah wajah kampus kita?

Kompasian Erkata Yandri menulis pertanyaan menarik tentang majalah: Mengapa topik publikasi selalu menarik di Indonesia? Mengapa disebut jurnal palsu?

Hal ini semakin menarik ketika, meskipun banyak pernyataan yang tidak terjawab, ternyata perguruan tinggi di Indonesia berlomba-lomba untuk menerbitkan jurnal akademik.

Jadi, tulis Kompasian Erkata Yandri, setiap kampus harus meningkatkan kinerjanya agar terlihat berkilau.

“Hal ini secara tidak langsung menyebabkan kampus masuk dalam “liga”. Konsekuensinya adalah “posisi”, “lanjutnya. (Lanjutkan membaca)

  1. Apakah mental anak kuat dalam menghadapi bullying di sekolah?

Faktanya, tidak banyak siswa yang kembali ke sekolah untuk melanjutkan proses belajar mengajar seperti semula.

Namun yang masih harus diatasi oleh pihak sekolah dan seluruh civitas akademika adalah terkait dengan school bullying.

Misalnya, kesulitan memantau tindakan setiap siswa dapat menjadi kendala.

“Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kesehatan mental sehingga menyebabkan anak menjadi depresi, marah, atau kecewa,” tulis Kompasian Indra Mahardika. (Lanjut membaca)

  1. Haruskah pendidikan plagiarisme dimasukkan dalam kurikulum?

Kompasian Steven Chaniago awalnya menganggap plagiarisme sebagai hal biasa. Namun, setelah aktif menulis dan menjiplak karyanya tanpa pertanggungjawaban, hal itu benar-benar belum membuahkan hasil.

Karena itulah kemudian membuka mata, sehingga semakin banyak plagiat yang diperkenalkan di Indonesia, setidaknya sejak itu telah diajarkan di sekolah-sekolah.

“Semakin cepat kita terbiasa dengan plagiarisme dan konsekuensinya, semakin kecil kemungkinan kita melakukannya dengan sengaja,” tulisnya. (Lanjut membaca)

  1. Pelatihan Guru di Indonesia

Menjadi guru besar, tulis Kompasian Juneman Abraham, merupakan impian banyak orang, termasuk yang kita kenal sebagai praktisi, seperti Kak Seto.

“Usia tua boleh terlambat. Tapi pikiran masih membara mencari cita-cita: Guru yang hebat!” Dia mengatakan pada 26 November 2020.

Tapi tahukah Anda bagaimana cara mendapatkan penunjukan sebagai profesor atau profesor?

LIHAT JUGA :

https://voi.co.id/
https://4winmobile.com/
https://mesinmilenial.com/
https://ekosistem.co.id/
https://www.caramudahbelajarbahasainggris.net/
https://laelitm.com/
https://www.belajarbahasainggrisku.id/
https://www.chip.co.id/
https://pakdosen.co.id/
https://duniapendidikan.co.id/