Ketika membahas kekayaan budaya Betawi, selain ondel-ondel dan lenong, salah satu elemen penting yang tak boleh dilupakan adalah bela diri tradisional Betawi. Lebih dari sekadar kemampuan melindungi diri, bela diri Betawi merupakan representasi dari semangat, karakter, dan kehormatan masyarakat asli Jakarta.
Sejarah Singkat Bela Diri Betawi
Bela diri Betawi dikenal dengan nama Silat Beksi, Silat Cingkrik, dan Silat Sabeni, yang tumbuh dari perkampungan-perkampungan di kawasan Jakarta seperti Petamburan, Kemayoran, dan Tanah Abang. Akar dari bela diri ini tak lepas dari pengaruh perpaduan antara budaya lokal, Tionghoa, dan Arab.
Asal Usul Silat Beksi

Silat Beksi disebut-sebut berasal dari seorang pendekar Tionghoa bernama Lie Tjeng Hok yang kemudian mewariskan ilmunya pada masyarakat Betawi. “Beksi” sendiri berasal dari kata Hokkian “Bek Si” yang berarti pertahanan diri. Dalam praktiknya, Beksi menekankan pada teknik tangkisan cepat dan pukulan balasan yang agresif.
Silat Sabeni dan Cingkrik

Sabeni adalah seni bela diri khas Tanah Abang yang diperkenalkan oleh Sabeni bin Canam pada abad ke-19. Gaya ini dikenal karena kecepatan gerakan, kekuatan serangan, dan teknik penguncian yang mematikan.
Cingkrik, yang berkembang di wilayah Petamburan, terkenal karena gerakan tubuh yang lincah dan seolah-olah menghindar seperti seekor kera. Filosofi gerakan ini adalah menghindari kekerasan namun tetap siap bila terpaksa bertarung.
Karakteristik Bela Diri Betawi
Perpaduan Filosofi dan Teknik
Setiap aliran silat Betawi tidak hanya menekankan pada aspek fisik, tetapi juga nilai moral dan spiritual. Murid silat tidak hanya diajarkan untuk kuat, namun juga harus menjunjung tinggi nilai kesopanan, tanggung jawab, dan semangat gotong royong.
Gerakan yang Realistis dan Efektif
Teknik-teknik dalam bela diri ini banyak mengandalkan refleks cepat, gerakan tubuh fleksibel, dan pukulan lurus yang diarahkan ke titik vital. Inilah yang membuat silat Betawi efektif dalam pertarungan jarak dekat.
Iringan Musik dan Pakaian Khas
Dalam berbagai pertunjukan, silat Betawi seringkali diiringi oleh tabuhan rebana, gambang kromong, atau tanjidor. Para pendekar biasanya memakai pakaian adat seperti baju koko, celana komprang, dan ikat kepala (peci atau sabuk).
Peran Bela Diri Betawi di Era Modern
Dilestarikan Melalui Perguruan dan Festival
Kini telah diajarkan di berbagai sanggar dan perguruan pencak silat di Jakarta, bahkan masuk dalam kurikulum ekstrakurikuler sekolah. Beberapa festival budaya seperti Lebaran Betawi rutin menampilkan pertunjukan silat sebagai upaya pelestarian budaya.
Diakui Dunia melalui IPSI dan UNESCO
Silat sebagai bagian dari warisan budaya tak benda Indonesia telah diakui oleh UNESCO sejak 2019. Bela diri Betawi pun menjadi bagian dari gerakan tersebut, mengangkat citra budaya Jakarta ke tingkat global.
Peran di Industri Film dan Hiburan
Tak sedikit seniman silat Betawi yang berkontribusi dalam dunia perfilman Indonesia. Mereka hadir sebagai koreografer laga atau pemeran pendekar, mengangkat eksistensi silat dalam bentuk visual modern.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski upaya pelestarian terus digalakkan, eksistensi silat Betawi tetap menghadapi tantangan di era digital dan globalisasi. Generasi muda lebih banyak terpikat dengan budaya populer asing daripada mempelajari warisan leluhurnya.
Namun dengan strategi promosi budaya yang adaptif seperti menggabungkan silat dengan pertunjukan seni kontemporer atau media sosial bela diri Betawi punya potensi besar untuk terus bertahan bahkan mendunia.
Menjaga Akar Identitas Lewat Silat
Bela diri Betawi bukan hanya soal teknik bertarung, melainkan sarana untuk menjaga identitas dan martabat budaya masyarakat Jakarta. Di tengah modernisasi yang terus bergerak, silat Betawi menjadi pengingat bahwa keberanian, kehormatan, dan kebijaksanaan adalah warisan yang harus terus dijaga. Dengan dukungan masyarakat, pemerintah, dan komunitas budaya akan terus tumbuh sebagai bagian penting dari wajah asli Jakarta yang tak lekang oleh waktu.